SOSIALISASI PETA BAHAYA GEMPA

Serentetan peristiwa gempa yang melanda bagian wilayah Indonesia beberapa bulan terakhir seolah kembali menyentakkan dan menyadarkan kita akan bahaya gempa yang terus mengiringi. Getaran gempa yang cukup besar dapat merusakkan bangunan gedung dan infrastruktur lainnya, bahkan dapat pula menyebabkan terjadinya gelombang tsunami yang dapat meluluhlantakkan apa yang ada di daratan dan menimbulkan korban meninggal dan luka berat yang tidak sedikit.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan akibat peristiwa gempa 7 SR di Lombok korban meninggal sebanyak 483 jiwa dan 1413 menderita luka-luka, sedangkan gempa 7,4 SR disertai tsunami di Palu dan Donggala menyebabkan 2037 meninggal, 823 orang masih tertimbun/hilang, dan luka-luka lebih dari 4000 orang (data sampai dengan 9 Oktober 2018). Setelah kejadian gempa tersebut beberapa daerah juga mengalami gempa dengan intensitas dan korban/kerusakan yang lebih kecil yakni di Situbondo-Sumenep, Ambon, dan baru saja terjadi  di Sibolga, Sumatera Utara dengan magnitudo 5,0 SR.

Letak geografis Indonesia yang diapit oleh pertemuan empat lempeng besar yakni lempeng Eurasia, Indo-Australia, Laut Filipina, dan Pasifik, serta pertemuan lempeng-lempeng kecil yang menyertainya. Lempeng-lempeng pada lapisan permukaan bumi (litosfer) ini terus bergerak, walaupun kita tidak menyadarinya, sehingga memungkinkan terjadinya pergerakan antar lempeng tersebut yaitu pergerakan lempeng divergen (saling menjauh), konvergen (saling mendekat/bertumbukan), dan sesar/patahan.

peta bahaya gempa17

Kondisi pergerakan antar lempeng ini umumnya disertai dengan pelepasan energi yang sangat besar ketika mencapai batasnya, sehingga sering mengakibatkan terjadinya gempa tektonik dan vulkanik (tekanan magma/letusan gunung berapi) dengan gelombang seismik  sangat besar pula, yang dapat menimbulkan getaran tanah (ground shaking), bahkan gelombang tsunami, likuifaksi, longsoran, dan patahan atau rekahan. Pada beberapa kejadian gempa, seperti telah disebutkan di muka, dapat menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit, kerusakan bangunan, infrastruktur, tanaman, dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Mitigasi Bencana Gempa

Namun demikian, kapan dan dimana peristiwa gempa akan terjadi? Tidak ada seorang ahli pun yang dapat memprediksi. Yang dapat dilakukan adalah memetakan sumber dan bahaya gempa, serta hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk mengantisipasi apabila gempa terjadi sewaktu-waktu agar meminimalkan korban yang terjadi baik korban jiwa maupun korban rusak atau hancurnya bangunan dan infrastruktur, serta kerusakan lingkungan lainnya. Upaya persiapan dan antisipasi ini lazim disebut dengan mitigasi.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pengertian mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Jadi, suatu tindakan yang komprehensif berkaitan dengan penanganan bencana yang dilakukan sebelum, pada saat, dan sesudah terjadinya bencana.

Sedangkan bencana yang didefinisikan oleh PP tersebut merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh, baik faktor alam, faktor non-alam, maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, seperti bencana banjir, gempa, tsunami, likuifaksi, jebolnya tanggul, runtuhnya bangunan, dan sebagainya.

Oleh karenanya, upaya mitigasi bencana yang meliputi upaya penanggulangan, pencegahan, peringatan dini, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, maupun rekonstruksi, menjadi hal yang sangat penting untuk dipersiapkan dan disosialisasikan kepada masyarakat.

Pada bencana gempa, umumnya sebagian besar rusak dan runtuhnya bangunan gedung dan infrastruktur lainnya diakibatkan oleh ketidakmampuannya untuk menahan getaran gempa, dan sebagian disebabkan terjangan gelombang tsunami atau terjadinya  likuifaksi pada lapisan tanah di bawahnya.

Berpijak pada permasalahan tersebut, maka langkah mitigasi bahaya gempa terhadap bangunan gedung dan insfrastruktur lainnya mutlak diperlukan. Sebenarnya, pada Peraturan Beton Indonesia 1971 (PBI’71) Bab 16 sudah diberikan rambu-rambu perancangan konstruksi tahan gempa, tapi tentunya masih dengan data peta bahaya gempa yang belum lengkap. Baru pada tahun 1983 pertama kali Indonesia mempunyai peta wilayah gempa yang tertuang dalam Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung (PPTI-UG) 1983. Indonesia dibagi atas enam wilayah gempa, tapi dengan peta data gempa yang juga masih terbatas.

PPTI-UG 1983 kemudian diperbaharui pada tahun 2002 dengan diberlakukannya Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung.  SNI ini mendasarkan pada peta gempa yang mengacu pada nilai rata-rata percepatan batuan dasar Indonesia dengan periode ulang 500 tahun.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan kegempaan dan analisis tiga dimensi penjalaran gempa, serta data-data baru kejadian gempa di Indonesia setelah tahun 2002, seperti gempa Aceh (2004), Nias (2005), Yogyakarta (2006), Bengkulu (2007), Padang (2009) dan Mentawai (2010) dengan skala magnitudo sekitar 6-9. Gempa-gempa tersebut telah menelan korban ratusan ribu meninggal dan kerusakan infrastruktur yang luar biasa besar. Bahkan, gempa Aceh (2004) oleh National Geographic disebut sebagai bencana alam terburuk kedua sepanjang masa, merenggut lebih dari 220.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar 10 miliar USD (PSPGI 2017). Maka, pada tahun 2010 pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum telah membentuk tim untuk merevisi dan memutakhirkan SNI 03-1726-2002 dengan menerbitkan Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 sebagai acuan dasar perencanaan dan perancangan infrastruktur tahan gempa.

Pemutakhiran data peta gempa sampai sekarang terus dilakukan. Sebelum kejadian gempa besar Lombok (2018) dan  Palu-Donggala (2018), pemerintah baru saja menerbitkan Peta Sumber Gempa dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017. Pemutakhiran ini ini juga mendasarkan pada kajian-kajian geologi, seismik, dan geodesi yang telah dilakukan setelah tahun 2010 yang perkembangannya sangat luar biasa, dan melibatkan ahli-ahli dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pertanahan Nasional (BPN), LIPi, BMKG, BNPB, beberapa Kementerian terkait, perguruan tinggi, asosiasi/praktisi, dan kerjasama dengan instansi terkait dari luar negeri.

Dibentuk pula Pusat Gempa Nasional (PuSGeN) sebagai wadah kegiatan bagi peneliti, akademis, dan praktisi kegempaan untuk mengkaji dan melakukan riset kaitannya dengan manajemen bencana dan kegempaan di Indonesia.

Yang perlu diperhatikan pada Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 adalah adanya beberapa rekomendasi dari beberapa tim ahli di bidangnya yakni adanya peta mutakhir jalur-jalur sesar aktif utama dan minor yang harus diperhatikan oleh pemangku kebijakan pembangunan di daerah-daerah. Karena berdasarkan pengalaman gempa Yogyakarta (2006) dan Pidie Jaya (2016), walaupun magnitudo gempa hanya 6 tapi dapat menimbulkan kerusakan yang besar akibat pusat gempanya di jalur sesar aktif. Sehingga pada daerah-daerah yang dilewati oleh sesar aktif, pembangunan infrastruktur/bangunan gedung harus didesain sesuai dengan kaidah ketahanan gempa. Pada daerah sesar aktif juga memungkinkan terjadinya deformasi tanah dan likuifaksi seperti yang terjadi di Palu-Donggala.

Disamping itu, pengetahuan peta sumber dan bahaya gempa di masing-masing daerah juga dapat digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya tsunami dan likuifaksi akibat gempa yang muncul.

Tsunami atau istilah ilmiahnya gelombang laut seismik, untuk membedakan adanya gelombang air laut pasang, hanya dapat dideteksi kejadiannya. Sehingga, alat pendeteksi dini terjadinya gelombang tsunami menjadi sangat penting apabila terjadi gempa di sesar lautan. Orang-orang di daratan/pantai dapat segera menyelamatkan di tempat yang tinggi dan aman sebelum gelombang tsunami mencapai bibir pantai.

Berkat bantuan negara-negara Indonesia telah membuat sistem peringatan dini tsunami yakni Indonesia Tsunami Early Warning System, InaTEWS, yang telah menempatkan peralatan deteksi dini tsunami di beberapa tempat di perairan laut Indonesia. InaTWES dikendalikan oleh BMKG. Tapi, sangat disayangkan apabila beberapa peralatan tersebut mengalami kerusakan atau beberapa komponen telah hilang dicuri, sehingga tidak dapat berfungsi kembali. Padahal semakin banyak alat pendeteksi dini tsunami dipasang, maka akan mengurangi korban-korban yang mungkin berjatuhan akibat gelombang tsunami.

Gelombang tsunami tertinggi pernah terjadi di Alaska tahun 1964 dengan ketinggian mencapai 600 m (Hartuti, 2009), sedangkan di Indonesia tertinggi pernah terjadi di Aceh tahun 2004 dengan korban lebih 200 ribu jiwa.

Sedangkan likuifaksi, yang mulai populer melalui media digital dan sosial setelah kejadian gempa Palu-Donggala, merupakan kehilangan tanah padat secara cepat akibat getaran (gempa) dan pada saat bersamaan merubah perilaku tanah padat menjadi pasir lepas dan diisi oleh cairan kental sehingga daya dukung hilang dan bangunan di atasnya akan turun. Umumnya terjadi pada gempa di atas magnitud 7, karakter lapisan tanah berupa pasir lepas, dan  muka air tanah tinggi.(Tavio dan Wijaya, 2018).

Data penyelidikan tanah di masing-masing daerah menjadi penting untuk mengetahui karakteristik lapisan tanahnya, sehingga dapat dijadikan peta pendukung dalam upaya mitigasi bahaya gempa.

Pendirian bangunan/infrastruktur seharusnya sudah mengacu pada peta sumber dan bahaya gempa, serta peta karakteristik lapisan tanah suatu daerah, sehingga kebijakan penataan suatu kawasan permukiman atau industri dapat menyesuaikan dan upaya mitigasi bahaya gempa dapat terlaksanan dengan baik. Upaya mitigasi bahaya gempa yang tersosialisasikan ke masyarakat dengan baik tentu akan meminimalisir korban jiwa, runtuhnya bangunan/infrastruktur, dan kerusakan lingkungan.***

Diterbitkan harian SOLOPOS hari Rabu 24 Oktober 2018

REVITALISASI TATA KELOLA RUANG

Bencana yang terjadi akhir-akhir ini, seperti kebakaran hutan, tanah longsor, banjir, bila ditilik penyebabnya lebih jauh maka akan bermuara pada bagaimana sebenarnya kebijakan tata kelola lahan telah dilakukan. Tata kelola lahan yang baik dan berkelanjutan diharapkan dapat meminimalisir timbulnya bencana-bencana tersebut. Disamping itu, tata kelola lahan yang tidak baik, seperti alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi infrastruktur fisik (perumahan, jalan) yang berlebihan dapat mengancam ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Di sela-sela sidang Majelis Umum PBB 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan pernah menyatakan bahwa timbulnya kebakaran hutan dan lahan gambut akibat kesalahan dalam pengelolaan lahan, hutan dirusak sementara lahan gambut dibongkar. Timbulnya masalah asap adalah bukti adanya permasalahan dalam tata kelola lahan (Vivanews,28/9/2015). Banjir bandang yang terjadi di Jakarta selain akibat tata kelola saluran drainase dan tata guna lahan yang buruk, juga memunculkan tudingan terjadinya kesalahan pengelolaan lahan di wilayah Bogor, daerah tangkapan hujan menyusut drastis karena pembangunan perumahan dan villa-villa yang menyalahi peruntukan lahan.

Juga sering terjadinya tanah longsor di berbagai daerah di wilayah pemukiman atau bukit di sekitar pemukiman atau areal pertanian/perkebunan.

Demikian halnya dengan banjir besar di wilayah Sumber-Banyuanyar, Solo beberapa tahun lalu, yang juga memunculkan adanya permasalahan pada tata guna lahan di wilayah hulu sungai Pepe dimana lahannya sudah banyak berganti menjadi perumahan dan bangunan lain, sehingga air hujan tidak bisa terserap ke dalam permukaan tanah. Sementara saluran drainase lebih difungsikan sekedar mematuskan air, tanpa diimbangi fungsi sebagai penyerap air dengan memanfaatkan teknologi biopori, atau membuat sumur-sumur peresapan pada masing-masing rumah atau lahan lain yang memungkinkan.

Tata Kelola

Menilik penyebab terjadinya bencana-bencana di muka, memang salah satu muara permasalahan adalah berkaitan dengan pegelolaan lahan yang kurang baik. Pengelolaan lahan menyangkut zonasi pemanfaatan ruang dan lahan untuk aktifitas manusia dan fasilitas umum, lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman, fasilitas pendidikan dan olah raga, perkantoran, pasar dan mall, pabrik dan industri, pertambangan, hutan dan ruang terbuka hijau, serta penataan aliran air permukaan (saluran drainase, sungai, dam, bendung, dan sebagainya).

Masalah pengelolaan lahan secara terpadu dan terintegrasi masih menjadi hal yang harus mendapat perhatian, terutama menyangkut pengelolaan antar daerah. Pengelolaan lahan merupakan bagian penting dalam penataan ruang secara keseluruhan. Pengelolaan dalam skala daerah yang paling kecil (RT, RW atau desa/kelurahan) diharapkan saling bersesuaian dan mendukung dengan skala daerah yang lebih besar, sampai ke tingkat provinsi dan nasional. Pengelolaan lahan yang baik diharapkan dapat mewujudkan sebuah keterpaduan dan keserasian dalam penggunaan ruang pada berbagai sektor sehingga pelaksanaan penataan ruang yang konsisten akan meminimalisasi konflik dan meningkatkan keterpaduan antar sektor serta wilayah.

Undang-undang No.26 tahun 2007 telah dengan tegas menyatakan bahwa penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penataan ruang yang baik diharapkan menjadi pijakan yang harmonis antara penggunaan sumber daya alam dan dan pemanfaatan ruang sekaligus mencegah terjadinya dampak negatif akibat pemanfaatan ruang.

Dampak negatif akibat kesalahan dalam penataan dan pemanfaatan ruang tentunya akan menimbulkan ketidakseimbangan dan berdampak pada munculnya bencana-bencana alam di muka. Salah satu pertimbangan  dibuatnya undang-undang tersebut adalah diperlukannya sistem penataan dan pengelolaan ruang yang berbasis mitigasi bencana sehingga dapat meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Revitalisasi penataan dan pengelolaan ruang dan lahan menjadi hal yang tak terelakkan, terutama berhubungan dengan penentuan kebijakan yang berlaku pada tiap-tiap daerah. Penataan ruang secara administratif wilayah harus menyesuaikan fungsi dari kawasan ruang yang ditata. Tidak ada penataan ruang yang berdiri sendiri tanpa memerlukan dukungan sumber daya geografis besertas sarana dan prasarana lainnya.

Sebagai contoh, penataan dan pengelolaan ruang kawasan Jakarta secara terpadu dan terkoordinasi harus melibatkan ruang kawasan di sekitarnya, seperti kawasan Bogor, Bekasi, Tangerang. Ruang kawasan kota Solo, tentunya juga akan melibatkan secara timbal balik penataan ruang dan lahan kawasan Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten dan Sragen.

Penataan ruang dan lahan yang baik dan terkoordinasi akan mengurangi semaksimal mungkin dampak negatif yang timbul akibat pemanfaatan ruang di masing-masing kawasan administratif. Penjenjangan penataan dapat dilakukan mulai dari wilayah kabupaten/kota (pemerintah daerah/kota), provinsi, sampai nasional, dengan sasaran kawasan lindung dan budi daya. Penjenjangan sistem penataan ruang dan lahan tidak dimaksudkan untuk menonjolkan ego masing-masing wilayah, akan tetapi untuk memudahkan proses koordinasi, dimana kepentingan yang lebih luas harus diutamakan dari kepentingan sektoral.

Penataan ruang dan lahan pada tingkat daerah secara umum dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota (RTRK) dan Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRP), serta pada tingkat nasional berupa Rencana Tata Ruang Nasional (RTRN).

Selama ini, yang banyak menjadi permasalahan penataan ruang dan lahan adalah kawasan budi daya, sementara kawasan lindung jarang terjadi masalah. Kawasan budi daya adalah suatu wilayah yang memang difungsikan untuk dibudidayakan berdasarkan kondisi geografis, potensi sumber daya alam dan buatan, serta sumber daya manusia.

Pemanfaatan kawasan ini tentunya harus jelas dan rinci termuat dalam rencana tata ruang. Ketika pemerintah kabupaten Sukoharjo akan mengembangkan wilayah Solo Baru sebagai kawasan perdagangan, perkantoran dan pemukiman, tentunya juga sudah malakukan koordinasi dengan pemerintah di wilayah sekitar. Bagaimana penataan struktur ruang dan pola ruang pengembangan wilayah Solo Baru tidak menimbulkan dampak negatif bagi wilayah lain yang juga mempunyai rencana penataan wilayahnya sendiri. Sarana dan prasarana yang dibangun juga harus terintegrasi dengan sarana dan prasarana yang akan dibangun oleh wilayah lain, seperti jaringan saluran drainase, jaringan jalan, daerah resapan. Masing-masing daerah bisa saling mendukung dan melengkapi dalam mebuat kebijakan penataan dan pengelolaan ruang dan lahan. **

 

Diterbitkan harian SOLOPOS hari Jumat Legi, 2 Desember 2016