REVITALISASI TATA KELOLA RUANG

Bencana yang terjadi akhir-akhir ini, seperti kebakaran hutan, tanah longsor, banjir, bila ditilik penyebabnya lebih jauh maka akan bermuara pada bagaimana sebenarnya kebijakan tata kelola lahan telah dilakukan. Tata kelola lahan yang baik dan berkelanjutan diharapkan dapat meminimalisir timbulnya bencana-bencana tersebut. Disamping itu, tata kelola lahan yang tidak baik, seperti alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi infrastruktur fisik (perumahan, jalan) yang berlebihan dapat mengancam ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Di sela-sela sidang Majelis Umum PBB 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan pernah menyatakan bahwa timbulnya kebakaran hutan dan lahan gambut akibat kesalahan dalam pengelolaan lahan, hutan dirusak sementara lahan gambut dibongkar. Timbulnya masalah asap adalah bukti adanya permasalahan dalam tata kelola lahan (Vivanews,28/9/2015). Banjir bandang yang terjadi di Jakarta selain akibat tata kelola saluran drainase dan tata guna lahan yang buruk, juga memunculkan tudingan terjadinya kesalahan pengelolaan lahan di wilayah Bogor, daerah tangkapan hujan menyusut drastis karena pembangunan perumahan dan villa-villa yang menyalahi peruntukan lahan.

Juga sering terjadinya tanah longsor di berbagai daerah di wilayah pemukiman atau bukit di sekitar pemukiman atau areal pertanian/perkebunan.

Demikian halnya dengan banjir besar di wilayah Sumber-Banyuanyar, Solo beberapa tahun lalu, yang juga memunculkan adanya permasalahan pada tata guna lahan di wilayah hulu sungai Pepe dimana lahannya sudah banyak berganti menjadi perumahan dan bangunan lain, sehingga air hujan tidak bisa terserap ke dalam permukaan tanah. Sementara saluran drainase lebih difungsikan sekedar mematuskan air, tanpa diimbangi fungsi sebagai penyerap air dengan memanfaatkan teknologi biopori, atau membuat sumur-sumur peresapan pada masing-masing rumah atau lahan lain yang memungkinkan.

Tata Kelola

Menilik penyebab terjadinya bencana-bencana di muka, memang salah satu muara permasalahan adalah berkaitan dengan pegelolaan lahan yang kurang baik. Pengelolaan lahan menyangkut zonasi pemanfaatan ruang dan lahan untuk aktifitas manusia dan fasilitas umum, lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman, fasilitas pendidikan dan olah raga, perkantoran, pasar dan mall, pabrik dan industri, pertambangan, hutan dan ruang terbuka hijau, serta penataan aliran air permukaan (saluran drainase, sungai, dam, bendung, dan sebagainya).

Masalah pengelolaan lahan secara terpadu dan terintegrasi masih menjadi hal yang harus mendapat perhatian, terutama menyangkut pengelolaan antar daerah. Pengelolaan lahan merupakan bagian penting dalam penataan ruang secara keseluruhan. Pengelolaan dalam skala daerah yang paling kecil (RT, RW atau desa/kelurahan) diharapkan saling bersesuaian dan mendukung dengan skala daerah yang lebih besar, sampai ke tingkat provinsi dan nasional. Pengelolaan lahan yang baik diharapkan dapat mewujudkan sebuah keterpaduan dan keserasian dalam penggunaan ruang pada berbagai sektor sehingga pelaksanaan penataan ruang yang konsisten akan meminimalisasi konflik dan meningkatkan keterpaduan antar sektor serta wilayah.

Undang-undang No.26 tahun 2007 telah dengan tegas menyatakan bahwa penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penataan ruang yang baik diharapkan menjadi pijakan yang harmonis antara penggunaan sumber daya alam dan dan pemanfaatan ruang sekaligus mencegah terjadinya dampak negatif akibat pemanfaatan ruang.

Dampak negatif akibat kesalahan dalam penataan dan pemanfaatan ruang tentunya akan menimbulkan ketidakseimbangan dan berdampak pada munculnya bencana-bencana alam di muka. Salah satu pertimbangan  dibuatnya undang-undang tersebut adalah diperlukannya sistem penataan dan pengelolaan ruang yang berbasis mitigasi bencana sehingga dapat meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Revitalisasi penataan dan pengelolaan ruang dan lahan menjadi hal yang tak terelakkan, terutama berhubungan dengan penentuan kebijakan yang berlaku pada tiap-tiap daerah. Penataan ruang secara administratif wilayah harus menyesuaikan fungsi dari kawasan ruang yang ditata. Tidak ada penataan ruang yang berdiri sendiri tanpa memerlukan dukungan sumber daya geografis besertas sarana dan prasarana lainnya.

Sebagai contoh, penataan dan pengelolaan ruang kawasan Jakarta secara terpadu dan terkoordinasi harus melibatkan ruang kawasan di sekitarnya, seperti kawasan Bogor, Bekasi, Tangerang. Ruang kawasan kota Solo, tentunya juga akan melibatkan secara timbal balik penataan ruang dan lahan kawasan Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten dan Sragen.

Penataan ruang dan lahan yang baik dan terkoordinasi akan mengurangi semaksimal mungkin dampak negatif yang timbul akibat pemanfaatan ruang di masing-masing kawasan administratif. Penjenjangan penataan dapat dilakukan mulai dari wilayah kabupaten/kota (pemerintah daerah/kota), provinsi, sampai nasional, dengan sasaran kawasan lindung dan budi daya. Penjenjangan sistem penataan ruang dan lahan tidak dimaksudkan untuk menonjolkan ego masing-masing wilayah, akan tetapi untuk memudahkan proses koordinasi, dimana kepentingan yang lebih luas harus diutamakan dari kepentingan sektoral.

Penataan ruang dan lahan pada tingkat daerah secara umum dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota (RTRK) dan Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRP), serta pada tingkat nasional berupa Rencana Tata Ruang Nasional (RTRN).

Selama ini, yang banyak menjadi permasalahan penataan ruang dan lahan adalah kawasan budi daya, sementara kawasan lindung jarang terjadi masalah. Kawasan budi daya adalah suatu wilayah yang memang difungsikan untuk dibudidayakan berdasarkan kondisi geografis, potensi sumber daya alam dan buatan, serta sumber daya manusia.

Pemanfaatan kawasan ini tentunya harus jelas dan rinci termuat dalam rencana tata ruang. Ketika pemerintah kabupaten Sukoharjo akan mengembangkan wilayah Solo Baru sebagai kawasan perdagangan, perkantoran dan pemukiman, tentunya juga sudah malakukan koordinasi dengan pemerintah di wilayah sekitar. Bagaimana penataan struktur ruang dan pola ruang pengembangan wilayah Solo Baru tidak menimbulkan dampak negatif bagi wilayah lain yang juga mempunyai rencana penataan wilayahnya sendiri. Sarana dan prasarana yang dibangun juga harus terintegrasi dengan sarana dan prasarana yang akan dibangun oleh wilayah lain, seperti jaringan saluran drainase, jaringan jalan, daerah resapan. Masing-masing daerah bisa saling mendukung dan melengkapi dalam mebuat kebijakan penataan dan pengelolaan ruang dan lahan. **

 

Diterbitkan harian SOLOPOS hari Jumat Legi, 2 Desember 2016